Oleh: Frengki Dermus Linthin, S.Pd
CGP Angkatan 4 Tana Toraja
Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu
menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu
berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung
jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk disiplin
yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita. Lazimnya disiplin dikaitkan
dengan kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam menghadapi murid. Di bawah ini
adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan
berapa miskonsepsi tentang kontrol
Ilusi guru mengontrol
murid.
Pada dasarnya kita
tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih
untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku
murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya
dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih
murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan,
bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
Ilusi bahwa semua
penguatan positif efektif dan bermanfaat.
Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol.
Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu,
adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu
tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk
menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada
pendapat sang guru untuk berusaha. •
Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa
bersalah dapat menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid
menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri
mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi
guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena
seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif.
•
Ilusi bahwa orang
dewasa memiliki hak untuk memaksa.
Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki
tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang
dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah
pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa
perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah
hubungan permusuhan akan terbentuk.
Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau
dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka,
syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud
adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki
motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita
atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita
sendiri.
Keyakinan kelas
Untuk terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu
diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar
bersama di antara para warga kelas. Penyatuan pemikiran untuk mendapatkan nilai-nilai
kebajikan serta visi sekolah diturunkan
di kelas-kelas menjadi keyakinan kelas yang disepakati bersama.
Prosedur Pembentukan Keyakinan Kelas:
1.
Mempersilakan murid-murid di kelas untuk
bercurah pendapat tentang peraturan yang perlu disepakati di kelas.
2.
Mencatat semua masukan-masukan para murid di
papan tulis atau di kertas besar (kertas ukuran poster), di mana semua anggota
kelas bisa melihat hasil curah pendapat.
3.
Susunlah keyakinan kelas sesuai prosedur
‘Pembentukan Keyakinan Kelas’. Gantilah kalimat-kalimat dalam bentuk negatif
menjadi positif.
Contoh
Kalimat negatif : Jangan berlari di kelas
atau koridor.
Kalimat positif: Berjalanlah di kelas atau
koridor.
4.
Tinjau kembali daftar curah pendapat yang sudah
dicatat. Anda mungkin akan mendapati bahwa pernyataan yang tertulis di sana
masih banyak yang berupa peraturan-peraturan. Selanjutnya, ajak murid-murid
untuk menemukan nilai kebajikan atau keyakinan yang menjadi inti dari peraturan
tersebut. Contoh: Berjalan di kelas, Dengarkan Guru, Datanglah tepat waktu bisa
disarikan menjadi 1 Keyakinan, yaitu keyakinan untuk Saling Menghormati atau
nilai kebajikan Hormat. Keyakinan inilah yang dijadikan daftar untuk
disepakati. Kegiatan ini juga merupakan peralihan dari bentuk peraturan ke
keyakinan kelas.
5.
Tinjau ulang Keyakinan Kelas secara
bersama-sama. Seharusnya setelah beberapa peraturan telah disatukan menjadi
beberapa keyakinan maka jumlah butir pernyataan keyakinan akan berkurang.
Sebaiknya keyakinan kelas tidak terlalu banyak, bisa berkisar antara 3-7
prinsip/keyakinan. Bilamana terlalu banyak, maka warga kelas akan sulit
mengingatnya.
6. Setelah
keyakinan kelas selesai dibuat, maka semua warga kelas dipersilakan meninjau
ulang, dan menyetujuinya dengan menandatangani keyakinan kelas tersebut,
termasuk guru dan semua murid. 7. Keyakinan Kelas selanjutnya bisa dilekatkan
di dinding kelas di tempat yang mudah dilihat semua warga kelas.
Hukuman,
Sanksi, Restitusi
Dalam menjalankan peraturan ataupun
keyakinan kelas, bilamana ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus
terjadi. Untuk itu kita perlu meninjau ulang penerapan penegakan peraturan atau
keyakinan kelas kita selama ini. Penerapan terhadap suatu pelanggaran bisa
dalam bentuk hukuman atau sanksi, atau berupa Restitusi. Namun sebelum kita melangkah
kepada penerapan Restitusi, kita perlu bertanya adakah perbedaan antara hukuman
dan Sanksi? Bila sama, di mana persamaannya? Bila berbeda, bagaimana
perbedaannya? Perlu ditambahkan bahwa bentuk sanksi untuk lingkungan pendidikan
disesuaikan menjadi konsekuensi. Pemahaman konsekuensi adalah bahwa dalam
setiap tindakan atau perbuatan, pasti akan berkonsekuensi, baik atau kurang
baik.
hukuman bersifat
tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan
terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang
memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa suatu diskusi atau
pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang
diberikan bisa berupa fisik maupun verbal dan murid disakiti oleh suatu
perbuatan atau kata-kata.
Sementara
disiplin dengan bentuk sanksi atau konsekuensi, sudah terencana atau sudah
disepakati. Sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Biasanya
pembentukan sanksi atau konsekuensi dibentuk oleh pihak guru (sekolah), dan
murid sudah mengetahui sanksi/konsekuensi yang akan diterima. Pada
sanksi/konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.
Konsekuensi atau sanksi biasanya diberikan berdasarkan suatu pengukuran,
misalnya: setelah 3 kali ditegur di kelas oleh guru karena tugasnya belum
selesai, atau mengobrol, maka murid akan kehilangan waktu bermain, dan harus
menyelesaikan tugas karena ketertinggalannya. Peraturan ini sudah diketahui
oleh murid dan diketahui sebelumnya. Guru senantiasa perlu memonitor murid.
Alfie Kohn
(Punished by Rewards, 1993, Wawancara ASCD Annual Conference, Maret 1995)
mengemukakan baik penghargaan maupun hukuman, adalah cara-cara mengontrol
perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran yang sesungguhnya.
Menurut Kohn, secara ideal tindakan belajar itu sendiri adalah penghargaan
sesungguhnya. Kohn selanjutnya juga mengemukakan beberapa alasan mengapa
penghargaan justru sama seperti menghukum seseorang.
1.
pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang
2.
Penghargaan Tidak Efektif.
3.
Penghargaan Merusak Hubungan
4.
Penghargaan Mengurangi Ketepatan
5.
Penghargaan Menghukum
Kebutuhan Dasar
Manusia
1. kebutuhan
Bertahan Hidup
2. Cinta
dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)
3. Penguasaan
(Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)
4. Kebebasan
(Kebutuhan Akan Pilihan)
5. Kesenangan
(Kebutuhan untuk merasa senang)
Posissi Kontrol
1.
Penghukum:
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman
fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa
mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan
muridmurid lebih dalam lagi
2.
Pembuat Orang Merasa Bersalah:
pada posisi ini biasanya guru akan bersuara
lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan keheningan yang
membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri.
3.
Teman:
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti
murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi
teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan
baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan
hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang.
4.
Monitor/Pemantau:
Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita
mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi.
Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan
menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita
dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.
5.
Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi
mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid
mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi
atas permasalahannya sendiri
Segitiga Restitusi
Restitusi adalah proses menciptakan
kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa
kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)
Restitusi juga adalah proses
kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan
membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan
bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Restitusi membantu murid menjadi
lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat
salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan
orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi
orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya
kita telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki
motivasi intrinsik.
Melalui restitusi, ketika murid
berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk
membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk
memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi
menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah.
Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi
menang-menang
Di bawah ini adalah ciri-ciri
restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya
- 1. Restitusi
bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan
- 2. Restitusi
memperbaiki hubungan
- 3. Restitusi
adalah tawaran, bukan paksaan
- 4. Restitusi
menuntun untuk melihat ke dalam diri
- 5. Restitusi
mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan
- 6. Restitusi
fokus pada karakter bukan tindakan
- 7. Restitusi
menguatkan
- 8. Restitusi
fokus pada solusi
- 9. Restitusi
mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya
Diane Gossen dalam bukunya
Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah
tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk
menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga
restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap
tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol.
Tahapan Restitusi:
- Menstabilkan indentitas
- Validasi tindakan yang sala
- Menanyakan keyakinan